Senin, 07 Juli 2014

Apa Beda Apresiasi Film dan Kritik Film?

 “Dalam kesenian, satu-satunya sumber informasi yang bebas hanyalah kritik. Lainnya iklan.” Pauline Kael.

Apa beda apresiasi film dan kritik film? Pertanyaan semacam ini semakin hari semakin banyak saya dapatkan. Bukan hal yang salah pertanyaan tersebut hadir, karena sebagian besar orang masih menganggap bahwa karya film merupakan karya yang mahal atau hobi membuat film dikatakan hobi yang mahal karena mahalnya biaya produksi film, maka apresiasi film menjadi satu hal yang utama dari kritik film. Pun dengan alasan apresiasi film, lantas kritik film menjadi sebuah hal yang haram diadakan bagi para pembuat film pemula atau setidaknya yang tak lama menekuni hobi membuat film. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, kenapa kritik film itu penting?

Kritik film menjadi penting tatkala kita mampu membedakannya dengan apresiasi film. Dalam ekosistem perfilman di Indonesia, film dibagi menjadi 5 bagian utama, yakni produksi, distribusi, eksibisi, apresiasi, dan kritik. Produksi merupakan tahap menciptakan film. Distribusi berupa upaya menyebarkan atau membuka ruang untuk film itu dapat diputar. Eksibisi merupakan sebuah ruang itu sendiri atau tempat untuk menayangkan film. Apresiasi adalah kegiatan merayakan film, misalnya dalam bentuk Meet and Great, Awarding, Press Release atau kegiatan nonton bareng yang diadakan oleh komunitas atau lembaga (pemutaran film). Kritik film juga dapat disebut sebagai kajian film, yakni kegiatan yang mendasarkan pada rasionalitas atau kegiatan menalar film.

Apresiasi film singkatnya adalah tentang “Selebrasi”. Sedangkan, kritik film adalah mengenai “Penalaran”. Melihat keterhubungan antara Film dan Penonton, maka dapat ditarik dua polah hubungan, yakni Film sebagai Tontonan atau Film sebagai Kode. Berfikiran bahwa film sebagai produk kesenian yang perlu diapresiasi atau diselebrasikan merupakan pandangan yang sangat sempit dalam melihat film secara utuh atau pandangan tersebut mendasarkan film hanya sebagai produk tontonan/hiburan. Tafsir kode/tanda dalam film dapat diklasifikasikan menjadi 4 hal. Pertama, “Sebagai Penonton” film dipengaruhi oleh pengetahuan, selera, ideologi, dan pengalaman. Kedua, “Sebagai Analis” diperlukan pengatahuan sinema atau pengetahuan dasar film dan pendekatan kritis untuk menafsirkan kode/tanda dalam film. Ketiga, “Film sebagai Teks” yakni didasarkan pada unsur intrinsik film dan elemen sinematik untuk menafsirkannya. Terakhir, “Film sebagai Misi” yakni film memiliki muatan sebagai pesan, nilai dasar dan representasi dari sesuatu hal.



Rabu, 02 Juli 2014

The Paperbag: Akulturasi Film Pendek Menghilangkan Identitas


Refrain; What They Dont Talk About; Tampan Tailor; Cinta Tapi Beda; Eiffel, I’m in Love; Heart; LoVe; Claudia|Jasmine; 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta; Arisan!; Cin(t)a; Catatan Akhir Sekolah; Perahu Kertas; Ada Apa Dengan Cinta? merupakan sederet contoh film Indonesia (baca: film panjang masuk bioskop) dengan genre percintaan remaja. Sebetulnya tidak ada yang menyakiti mata saya dalam melihat film-film bergenre cinta remaja tersebut, hal itu karena bisa dipastikan bahwa pemainnya memiliki paras yang menarik bagi mata saya. Akan tetapi, hal ini melahirkan permasalahan baru mengenai interpretasi cinta yang hanya menjadi urusan pacar-pacaran, pernikahan, perselingkuhan, dan hal-hal yang berbau dengan masa lalu saja. Maka, cinta itu harus biasa. Biasa pula untuk menampilkan rasa cinta pada sesama manusia yang membutuhkan, membutuhkan cinta yang sama pula? Oh, itu tentu. Tapi yang tak kalah penting adalah cinta pada orang-orang yang berkekurangan di sekitar kita, pemulung, anak jalanan, pengemis dan lainnya.

The Paperbag merupakan sebuah film pendek yang diproduksi oleh Kata Pictures – sebuah Production House yang ada di Kota Malang – yang baru saja dirilis. Film ini menceritakan tentang sepasang kekasih yang tengah sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Di hari menjelang pernikahan mereka, Biyan mendapatkan kabar bahwa pesawat yang ditumpangi oleh Rio mengalami kecelakaan. Di kisahkan karena Rio sedang membelikan Roti Canai, Rio pun tertinggal pesawat. Hal inilah yang kemudian menjadi penyelamat Rio dalam kecelakaan pesawat tersebut. Biyan pun akhirnya menikah dengan Rio. The Paperbag menggunakan logika penuturan tiga babak dengan pilihan cerita percintaan remaja yang membuatnya semakin klise. Sebagai sebuah film pendek, The Paperbag hanya seperti film panjang yang berdurasi pendek pun seperti cerita FTV yang gaya penceritaannya hampir selalu berakhir dengan sebuah kebahagiaan.

Sebenarnya apakah film pendek yang bergenre percintaan remaja itu selalu salah? Tidak! Saya akan bilang secara tegas. Lantas apakah yang salah dari genre percintaan remaja tersebut? Yang salah adalah bahwa genre film itu tak selalu percintaan remaja. Tidak lantas karena alasan penonton yang ingin dibidik menjadi sebuah kambing hitam untuk memproduksi sebuah film yang dikatakan pop bangetlah atau cerita-cerita tentang remaja. Yang diperlukan dari pembuat film sesungguhnya adalah eksplorasi terhadap kekaryaannya. Sehingga tidak berdiri di titik nyamannya saja, namun dapat mengasilkan sebuah karya yang lebih memiliki nilai di masyarakat.

Lalu, hal-hal apakah yang menonjol dalam film The Paperbag ini? Apabila dicermati dalam sepanjang film ada sebuah produk elektronik dari Apple yang digunakan sebagai properti The Paperbag. Hal ini menjadikan The Paperbag seperti sebuah iklan film dari Apple. Yang kemudian selalu menjadi pertanyaan adalah apa rasionalitas penggunaan properti dari produk Apple  tersebut yang berdasarkan merek dan citranya? Adalah hal yang irasional memakai barang berdasarkan merek dan citranya. Penggunaan properti tersebut menggambarkan sebuah kaum borjuasi dengan kehidupannya. Lantas bermanfaat apa film seperti itu pada hari ini, kecuali sebagai sebuah hiburan dan angan-angan yang tak pernah diinterpretasikan ulang. Hanya sebagai sebuah reduksi dari budaya asing yang tidak diintegrasikan dengan kebutuhan dalam isu-isu sosial politik dalam film tersebut.

Film pendek memiliki potensi daripada kesterilannya terhadap budaya asing yang banyak memperngaruhi film-film panjang di atas. Penggunaan genre percintaan remaja dalam film panjang Indonesia kerapkali mengambil budaya asing yang di Indonesiakan. Misalnya penggunaan coklat, bunga, boneka, pun perhiasan sebagai media untuk menyampaikan perasaan. Hal-hal tersebut dengan mudah ditemukan dalam film panjang Indonesia. Inilah yang disebut oleh Philip Cheah sebagai sebuah globalisasi film. Film pendek memiliki potensi menjadi sebuah media yang bebas dari globalisasi film tersebut dan memiliki kekayaan konten dalam film. Pun agar logika ekonomi pasar dalam film tidak mengancam keberagaman budaya dalam film pendek yang terglobalisasi. The Paperbag merupakan salah satu dari film yang muncul sebagai sebuah produk atas pengaruh globalisasi film ini. Konten dalam film yang memuat properti yang ditampilkan dan konsep penceritaan film The Paperbag ini menunjukkan adanya pengaruh ekonomi pasar film tersebut. Akulturasi ini menghilangkan potensi film pendek yang bebas nilai, baik nilai lokalitas budaya maupun logika-logika di masyarakat.